Harusnya Saat Itu Kita Tidak Saling Menyapa
Mungkin agak sedikit munafik jika aku
mengatakan kalau aku menyesal pernah mengenalmu. Tidak, aku tidak seperti itu.
Terimakasih untuk kebersamaan yang tidak lama ini. Aku mengapresiasi pertemuan yang
pernah terjadi.
Harusnya, saat itu kita tidak saling menyapa.
Basa-basi yang dibuat hanya sekedar untuk
menanyakan kabar telah terjadi saat ini. Kemarin, dengan lugu kita menuai
jawaban atas pertanyaan yang hanya sekedar kabar, sedang apa, atau sudah
ngantuk apa belum. Malam kian malam terlewati, kini percakapan hangat mulai
terjadi. Yang awalnya aku hanya mengikutimu, kini aku terbawa arus. Arus yang
kau buat untuk aku menyukai malam bersamamu. Terasa berbeda ketika satu malam
namamu tak muncul di ponsel milikku.
Harusnya, saat itu kita tidak saling
berbincang.
Menjadi lucu ketika bahan pembicaraan telah
habis, hanya tersisa nafas disela-sela telepon yang kita buat. Hingga tak
sadar, satu dari kita terlelap sendiri tanpa basa-basi. Dengan senang hati itu terjadi lagi esok hari. Untuk saat itu, aku harus mengakui jika aku nyaman
bersamamu. Setiap gurauan canda yang kau buat selalu berbuah menjadi tawa.
Setiap kata menjadi bermakna, setiap adonan topik selalu menjadi perbincangan
yang lezat untuk siap disantap sebagai teman sebelum terlelap.
Menjadi lucu ketika aku harus terima kenyataan
bahwa aku hanya menjadi teman curhatmu.
Halah. Ratusan kata yang terucap, ribuan
kalimat yang terurai, jutaan ekspresi yang terpancar. Semuanya, sia-sia!
Tanpa basa-basi kau berikan aku suapan
perpisahan yang harus aku telan dengan penuh kebencian. Tega.
Untuk saat ini aku masih tak mengerti apa yang
terjadi
Untuk saat ini, aku masih memutar kursi untuk
mengetahui bagaimana caranya duduk sendiri
Untukmu,
jangan berikan sapa lalu canda jika enggan bertanggung jawab akan hati yang
luka.
Komentar
Posting Komentar