"Di antara"
Kali ini aku ingin
protes kepada waktu. Kalau saja pertemuan kita terlambat satu detik, mungkin
cerita kita tidak akan menjadi semenarik ini. Bisa jadi tidak ada yang namanya
proses perkenalan di antara kita. Mungkin saja saat ini aku masih duduk di
bangku sembari mengusap layar ponselku dan kamu dengan waktu yang sama di
tempat yang berbeda masih menggunakan sepatu kemudian lari untuk membakar
kalori. Mungkin.
Kali ini cukup
berbeda. Aku disini memang masih duduk di bangku bersama ponselku, namun sembari menunggu pesan darimu. Sementara kamu bisa jadi di sana menggunakan sepatu
dan berlari tapi entah kemana dan dengan siapa. Mungkin, lari dari masalah. Mungkin.
Setauku berdebat
bukan berarti perkelahian. Tapi menurutmu, daripada berdebat lebih baik diam.
Aku masih tidak mengerti dengan pemikiran ini. Bagaimana bisa terjadi
perpecahan di antara kita hanya karena satu perselisihan? Tapi kita bisa
bersama ketika begitu banyak kebahagiaan. Mengapa tidak kita balik saja
kejadiannya? Tapi apakah bisa? Maksudku, bukankah di antara perselisihan pasti
ada yang namanya jalan tengah? Ingat, “di antara” perselisihan. Bahasa
Indonesiaku benarkan?
Mengapa bukan itu
yang kita cari? Mengapa disaat hati sudah sulit untuk menerima, kita
seolah-olah menjadi orang yang tidak mau tau dan kemudian pergi? Padahal, bisa
jadi itu menjadi kekuatan kita. Lihat, apakah laut menarik ketika tanpa ombak?
Kurasa tidak. Orang-orang tidak akan datang ke laut jika tidak ada ombak
disana. Nahkoda juga tidak akan merasa tertantang jika laut yang dijalaninya
hanya diam dan tenang. Lalu, bagaimana dengan kita? Mengapa menjadi tidak
menarik ketika ada ombak di tengah-tengah luasan hubungan kita? Segampang
itukah untuk menyerah lalu tenggelam?
Komentar
Posting Komentar